Masih
ingat dolanan saat kita masih kecil dan biasanya dilakukan pas terang bulan
ini? Beberapa anak ikut bermain, satu anak duduk telungkup seperti posisi sujud
dan memejamkan matanya sementara anak-anak lainnya duduk mengitarinya lalu
tangan anak-anak tersebut dalam posisi menengadah menunggu giliran sebuah batu
kerikil yang nanti akan jatuh dalam salah satu genggaman tangan seorang anak.
Sambil menggilir batu tsb anak-anak menyanyikan lagu ini :
Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Selesai
menyanyi lagu itu, anak yang telungkup bangun dan disuruh menebak siapa yang
menggenggam batu tsb. Si anak yang telungkup bila salah menebak maka dia akan
disuruh telungkup lagi dalam fase permainan berikutnya.
Permainan
ini pastilah sudah lama kita tinggalkan. Namun tanpa kita sadari sampai kita
dewasa pun kita masih melakukan ’permainan’ ini. Dalam kehidupan sehari-hari.
Permainan anak-anak yang akrab bagi masyarakat Jawa ini ternyata mengandung
banyak makna dan mengajarkan kehidupan sedari kecil. Konon (katanya) permainan
ini awalnya dikenalkan oleh Walisongo.
Banyak
versi lirik lagu ”Cublak-cublak Suweng” di Jawa. Mungkin
tergantung nenek moyang dan dialek setempat, Tegal dan Pekalongan yang
bersebelahan saja bisa berbeda lirik lagunya. Dalam satu kota saja bisa beda
versi, yang jelas secara garis besar sama dan kurang lebih maknanya juga sama.
Apa
sebenarnya makna dari dolanan bocah cilik ini?
Dari
lirik lagunya bila dalam kiasan bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:
Permainan
ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak
suweng” …suweng artinya hiasan di telinga, lebih berharga dari pada
anting…identik dengan harta. Bisa diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan
harta”
”Suwenge
ting gelenter” maksudnya
hartanya tersebar dimana-mana. Hal
ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak menyembunyikan batu
kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain
(”suwenge ting gelenter”)
”Mambu
ketundung gudhel” =
mambu artinya tercium, ketundung artinya yang dituju, sedangkan gudhel artinya
anak kerbau….mengapa anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau
identik dengan kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias
belum tahu apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah
tercium (tersiar) oleh orang-orang bodoh.
”Pak
Gempo lerak-lerek”
Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo digambarkan sebagai kebalikan
dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’.
Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta
(’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan ’gudhel’ yang
hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo
bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan
dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu
kerikil tsb.
”Sopo
ngguyu ndelekakhe”
Siapa yang tertawa pasti menyembunyikan. Di permainannya kita tahu bahwa
anak-anak yang lain (yang tidak telungkup) pasti tertawa saat anak yang
telungkup berusaha menebak siapa yang menyimpan batu kerikilnya.
”
Sir-sir pong dele kopong” di
dalam hati nurani yang kosong. Suatu petunjuk bagi yang ingin mencari
harta/menebak di permainan bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati
nurani.
Bisa
ditafsirkan secara garis besar makna dari lagu dan permainan ini adalah sebagai
berikut:
Kita
sebagai manusia biasa yang tercipta dari tanah. Makanya dalam permainan seorang
anak harus telungkup mencium tanah seolah sedang sujud. Hanya manusia biasa
yang tak tak tahu apa-apa. Namun manusia tetap ada hasrat nafsu sebagaimana
nabi Adam dikeluarkan dari surga karena mencium wanita. Manusia mempunyai
hasrat nafsu harta, tahta dan wanita. Dalam lagu daerah ini manusia tetap
memenuhi hasratnya untuk mencari harta (”cublak-cublak suweng”).
Namun harta tercecer dimana-mana dan semua orang pasti menginginkannya. Begitu
mudahnya tercium ’bau’ harta sampai orang tak berilmu pun tahu, kita tahu bahwa
setiap hari ada maling, copet, koruptor yang mengincar harta. Zaman sekarang
istilah koruptor identik dengan ”tikus” yang sama saja binatang atau ”gudhel”
dalam lagu ini. Berarti zaman lagu dan permainan ini ditemukan, sudah diajarkan
kepada masyarakat bahwa kita harus was-was akan bahaya koruptor.
Dan
kita tahu tampang para koruptor seperti apa, biasanya mereka selalu senyum
mesem-mesem (”sopo ngguyu ndelekakhe”). Lihatlah tampangnya para
koruptor yang tetap saja nyengir meskipun sudah dipanggil KPK.
Cara
terbaik untuk mencari harta adalah dengan hati nurani yang bersih. Tidak
dipengaruhi hawa nafsu dsb. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukannya,
tidak tersesat.
Ternyata
memang luar biasa makna permainan Jawa yang diajarkan Sunan Giri ini. Walisongo
memang telah mengajarkan mengenai suatu perjalanan hidup setiap manusia
sehari-hari. Setiap hari kita mencari harta, harta tak hanya berupa kekayaan
bisa berupa ilmu, jabatan, dan setiap pemuas kebutuhan hidup manusia. Permainan
ini diajarkan penyebar Islam di tanah Jawa sehingga pastilah berlandaskan
Islam, untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya
kembali ke hati nurani.
Ada
versi lain lirik lagu Cublak-Cublak Suweng bagi masyarakat Jawa Timur:
Cublak-cublak
suweng
Suwenge
ting gelenter
Mambu
ketundung gudhel
Ngganggo
kepudung solek
Sopo
gelem ndelekakhe
Sir-sir
pong dele bodong
Sir-sir
pong dele bodong
Sir-sir
pong dele bodong
Lirik
terakhir ”sir-sir pong dele bodong” sir : menyatakan hati
nurani,
pong
dele bodong : gambaran tentang yang tidak memakai pakaian sehingga terlihat
pusarnya. Namun buat masyarakat Jawa biasanya cemoohan untuk orang bodoh
biasanya identik dengan ”udele bodong”. Di sini maksudnya bukan bodoh, tapi
cenderung lugu atau polos….yang artinya kembali ke ”hati nurani yang polos”
untuk pencarian harta.
Kemungkinan
maksud Walisongo mempopulerkan permainan rakyat ini untuk menanamkan hati
nurani yang ikhlas bila kita hendak mencari harta. Kembali kepada nilai-nilai
islami, seperti sedekah untuk mencari harta yang banyak bukan dengan jalan
pintas (korupsi). Harta yang dicari dengan jalan cepat akan hilang dalam waktu
cepat pula.
Tak
disangka sungguh dalam maknanya permainan bocah cilik yang biasanya kita
mainkan sore hari atau di bawah terangnya sinar rembulan ini.
Patut
dibanggakan dan dilestarikan dolanan bocah cilik ini. Anak sekarang mungkin
sudah tak mengenalnya lagi karena kecanggihan tekhnologi, mereka sudah tak
mengenal permainan rakyat.
Sebaiknya
kita ajarkan lagi permainan rakyat ini kepada anak, cucu, keponakan, tetangga
dsb agar tak ’lenyap’ begitu saja dari bumi pertiwi.
Dan
jangan sampai terjadi bila tiba-tiba kita pun harus menjerit marah karena
dolanan ini tiba-tiba diakui oleh negeri jiran. Sebelum diambil negeri manapun,
kita tetap lestarikan dolanan dan lagu daerah yang telah kita kenal sejak kecil
ini.